Oleh : In’am Alfajar, S.Pd.I
Pondok Pesantren lahir di bumi nusantara. Oleh pakar, lembaga pendidikan ini dikatakan memiliki corak asli atau indigenos khas Indonesia. Profesor Azyumardi Azra menyebut Pondok Pesanten sebagai lembaga pendidikan yang tahan terhadap gelombang modernisasi. Hal ini jadi kelebihan tersendiri bagi Pondok Pesantren hingga tetap survive hingga kini.
Menarik, fakta menunjuk tiap tahun Pondok Pesantren terus bertumbuh. Dalam catatan kementrian agama tahun 2020 jumlah Pesantren di tanah air telah capai angka 28.194 buah Pesantren. Tidak kurang 5 juta santri mukim atau bertempat di Pesantren.
Pesantren telah terbukti eksis mengarungi zaman. Gelombang modernisasi di perlbagai bidang kehidupan tak membuat Pondok Pesantren larut dan surut. Pesantren berdiri tegar dengan pijakan nilai yang mengakar kuat.
Kendati demikian, Pesantren tak memilih menepi dari kemajuan zaman. Ia berani bersifat adaptif pada kebaikan zaman. Sebagaimana jargon muhafazah ‘ala qadimis shalih, wal akhdu bil jadidil aslah.
Banyak nilai luhur terkembang di Pondok Pesantern. Tulisan singkat ini mencoba memotret nilai-nilai tersebut. Setidaknya, sependek penglihatan saya saat nyantri di Pondok Pesantren Al Hikmah 2 Brebes. Empat nilai luhur Pesantren ini saya tawarkan untuk dibawa, ditumbuh dan kembangkan pula di Madrasah Ma’arif.
Pertama, Keteladanan. Pondok Pesantren kuat dengan nilai keteladanan. Kyai sebagai figur guru tak henti menjadi teladan. Kyai tak berhenti dengan memberi contoh saat pembelajaran berlangsung. Ia menerapkan hal-hal yang ia ajarkan di kehidupan kesehariannya.
Ketika Kyai mengungkap hadis memuliakan tamu. Santri menyaksikan bagaimana hangatnya sambutan Kyai kala menerima tamunya. Saat Kyai menjelaskan pentingnya ilmu. Santri melihat bagaimana kecintaan gurunya pada ilmu. Demikian seterusnya.
Alhasil, di Pondok Pesantren santri sebagai pelajar tak sekadar dapati teori dari teks. Melainkan belajar langsung dari teladan gurunya. Keteladanan ini telah jadi nafas kehidupan Pondok Pesantren. Bahkan sejak awal berdirinya, berates tahun silam.
Kiranya prinsip keteladanan serupa harus jadi perhatian madrasah ma’arif. Kepala madrasah, guru, staff karyawan kudu sekuat tenaga jadi teladan bagi peserta didik. Dari mulai kedisiplinan, kecintaan ilmu pengetahuan, perhatian pada kebersihan lingkungan, hingga yang paling utama menyoal keteladanan akhlakul karimah.
Kedua, perhatian pada adab. Sejak lama Pondok Pesantren menaruh perhatian soal adab. Jargon adab diatas ilmu nyata berlaku di Pesantren. Kyai dan santri sangat menjunjung tinggi adab. Baik adab pada sesama atau pada diri sendiri. Dari sini tak heran, banyak yang menyebut Pondok Pesantren sebagai benteng moral terakhir.
Sudah saatnya madrasah ma’arif memberi perhatian lebih pada adab. Penerapan adab kudu disetting sedemikian rupa. Lagi-lagi, guru harus tampil terdepan meneladankan.
Ketiga, keselarasan usaha dalam meraih ilmu. Proses Pendidikan Pesantren tak semata mendorong santri untuk tekun belajar. Melainkan juga giat memanjat doa lewat istigatsah, mujahadah hingga riyadah. Ilmu di Pesantren umumnya bisa didapat lewat perpaduan usaha lahir batin. Selain didorong untuk rajin belajar. Pesantren memprogram sedemikian rupa kegiatan untuk mengasah rohani santri.
Qodarullah, perpaduan usaha lahir batin dalam belajar menuai hasil. Selama berkiprah Pondok Pesantren nyata menelurkan alumni yang mewarnai kehidupan bangsa. Santri bisa menjadi apa saja. Anggapan ini telah jadi fakta. Presiden keempat Indonesia tak lain adalah KH Abdurrahman Wahid. Ia seorang santri. Kini, wakil presiden kita pun santri. Sosok itu KH. Ma’aruf Amin.
Membawa nilai ketiga ini ke madrasah tentu menyesuaikan situasi dan keadaan. Madrasah dapat memulai dengan kegiatan sekira memungkinkan. Memaksimalkan proses pembelajaran jelas tak bisa ditawar.
Adapun terkait usaha bathiniah menyesuaikan dengan kemampuan madrasah. Guru, walimurid dan siswa dapat memulai lewat pembacaan doa harian. Mujahadah atau istigatsah mingguan atau mungkin bulanan. Jika masih bisa, madrasah dapat memberlakukan kebijakan puasa sunnah semisal senin dan kami, hari tasyu’a dan arah, dan seterusnya. Segala ikhtiar batin ini diharap dapat mendatangkan ridho Tuhan. Hingga akhirnya, Agar siswa meraih ilmu manfaat setamat madrasah.
Keempat, kesetaraan. Jauh sebelum dunia Pendidikan menggaungkan kesetaraan, Pesantren telah mengaplikasikan konsep ini. Santri putra dan putri memiliki akses setara dalam pembelajaran. Kyai mengajar santri tak pandang bulu. Tak ada sekat untuk santri A dan B.
Prinsip kesataraan di Pesantren juga nampak kentara di forum musyawarah santri. Saat musyawarah, tiap santri mendapat kesempatan bicara. Tidak lihat asal usul sampai status sosial. Peserta musyawarah alias musyawirin berhak bersuara mengurai topik bahasan. Saling adu argumen. Berdebat satu sama lain. Semua diberi panggung yang sama.
Madrasah sebagai lingkungan belajar sudah selayaknya menerapkan kesataraan serupa. Guru sebagai pendidik tak boleh memandang sebelah mata tiap anak didiknya. Akses untuk belajar diberikan secara adil.
Kesetaraan dalam belajar bermula sejak proses penerimaan siswa baru. Setiap siswa dengan segala latar belakangnya disambut untuk belajar di Madrasah. Bila pun ada proses seleksi semata bersifat pemetaan kemampuan dan bakat siswa. Pemetaan ini dimaksudkan agar siswa dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Juga menyalurkan bakatnya dengan tepat. Penerimaan siswa dengan segala keunikannya ini juga meneguhkan prinsip inklusi dalam pembelajaran.
Comments
Post a Comment